Pengertian
Typhus Abdominalis adalah :
a.Penyakit infeksi akut usus halus (Juwono Rachmat, 1996).
b.Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran. (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
c.Penyakit infeksi yang disebabkan oleh salmonella typhi atau salmonella paratyphi A, B, atau C. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung lebih kurang 3 minggu disertai dengan demam, toksemia, gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit (Soedarto, 1996).
2.Etiologi
Salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan rambut getar dan tidak berspora (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
3.Anatomi fisiologi saluran cerna
a.Anatomi
Saluran gastrointestinal adalah jalur (panjang totalnya 23 sampai 26 kaki) yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai anus.
1)Mulut
Mulut merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan. Dinding dari cavum oris mempunyai struktur yang melayani fungsi mastikasi, salivasi, menelan, kecap dan bercakap. Mulut dibatasi pada kedua sisi pipi yang dibentuk oleh muskulis businatorius, atapnya adalah palatum yang memisahkannya dari hidung dan bagian atas dari faring, lidah membentuk bagian terbesar dari dasar mulut.
Terdapat tiga pasang glandula salivarius (parotid, mandibular dan sublingual). Glandula salivarius mensekresikan saliva via duktus ke dalam mulut. Glandulla diinervasi baik oleh saraf parasimpatis dan simpatis (Rosa M. Sacharin, 1993).
Dalam rongga mulut terdapat :
a)Lidah
Lidah menempati kavum oris dan melekat secara langsung pada epiglotis dalam laring.
b)Gigi
Manusia dilengkapi dengan dua set gigi yang tampak pada masa kehidupan yang berbeda-beda. Set pertama adalah gigi primer atau susu yang bersifat sementara dan tumbuh melalui gusi selama satu tahun pertama dan kedua. Set kedua atau set permanen menggantikan gigi primer dan ini mulai tumbuh pada sekitar umur 6 tahun. Terdapat 20 gigi susu dan 32 gigi permanen (Rosa M. Sacharin, 1993).
2)Esofagus
Terletak di mediastinum rongga torakal, anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang dapat mengempis ini, panjangnya kira-kira 25 cm (10 inci), menjadi distensi bila makanan melewatinya (Smeltzer Suzanne C, 2001).
3)Lambung
Lambung ditempatkan di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri.
Lambung dapat dibagi dalam empat bagian anatomis : kardia (jalan masuk), fundus, korpus dan pilorus (outler). Otot halus sirkuler di dinding pilorus membentuk sfingter piloris dan mengontrol lubang diantara lambung dan usus halus (Smeltzer Suzanne C, 2001).
Kapasitas lambung adalah antara 30 dan 35 ml saat lahir dan meningkat sampai sekitar 75 ml pada kehidupan minggu kedua. Pada akhir bulan pertama ini sekitar 10 ml, sementara kapasitas lambung rata-rata orang dewasa adalah 1000 ml (Rosa M. Sacharin, 1993).
4)Usus halus
Adalah segmen paling panjang dari saluran gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total saluran. Bagian ini membalik dan melipat diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan untuk sekresi dan absorbsi.
Usus halus dibagi 3 bagian anatomik : bagian atas disebut duodenum, bagian tengah disebut yeyunum dan bagian bawah disebut ileum. Pertemuan antara usus halus dan usus besar terletak di bagian bawah kanan duodenum ini disebut sekum
Pada pertemuan ini yaitu katup ileosekal, yang berfungsi untuk mengontrol pasase isi usus ke dalam usus besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini terdapat apendiks veriformis.
Terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen, segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri, dan segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Bagian ujung dari usus besar terdiri dari dua bagian kolon sigmoid dan rektum. Rektum berlanjut pada anus. Jalan keluar anal di atur oleh jaringan otot lurik yang membentuk baik sfingter internal dan eksternal.
b.Fisiologi
Proses pencernaan mulai dengan aktivitas mengunyah, dimana makanan dipecah ke dalam partikel kecil yang dapat ditelan dan dicampur dengan enzim pencernaan. Saliva adalah sekresi pertama yang kontak dengan makanan.
Menelan mulai sebagai aktifitas volunter yang di atur oleh pusat menelan di medulla oblongata dari sistem saraf pusat. Saat makanan ditelan, epiglotis bergerak menutup lubang trakea dan karenanya mencegah aspirasi makanan ke dalam paru-paru. Menelan, mengakibatkan bolus makanan berjalan ke dalam esofagus atas, yang berakhir sebagai aktivitas refleks, otot halus di dinding esofagus berkontraksi dalam urutan irama dari esofagus ke arah lambung untuk mendorong bolus makanan sepanjang saluran. Selama proses peristaltik esofagus ini, sfingter esofagus bawah rileks dan memungkinkan bolus makanan masuk lambung. Akhirnya, sfingter esofagus menutup dengan rapat untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus.
Lambung mensekresi cairan yang sangat asam dalam berespon atau sebagai antisipasi terhadap pencernaan makanan. Cairan ini yang dapat mempunyai pH serendah 1, memperoleh keasamannya dari asam hidroklorida yang disekresikan oleh kelenjar lambung. Fungsi sekresi asam ini dua kali lipat :
1)Untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih dapat diabsorbsi.
2)Untuk membantu destruksi kebanyakan bakteri pencernaan.
Lambung dapat menghasilkan sekresi kira-kira 2, 4 L/hari. Sekresi lambung juga mengandung enzim pepsin yang penting untuk memulai pencernaan protein. Faktor instrinsik juga disekresi oleh mukosa gaster. Kontraksi peristaltik di dalam lambung mendorong isi lambungnya ke arah pilorus. Karena partikel makanan besar tidak dapat melewati sfingter pilorus, partikel ini diaduk kembali ke korpus lambung. Makanan tetap berada di lambung selama waktu yang bervariasi, dari setengah jam sampai beberapa jam tergantung pada ukuran partikel makanan, komposisi makanan dan faktor lain. Peristaltik di dalam lambung dan kontraksi sfingter pilorus memungkinkan makanan dicerna sebagian untuk masuk ke usus halus (Smeltzer Suzanne C, 2001).
Proses pencernaan berlanjut ke duodenum, sekresi di dalam duodenum datang dari pankreas, hepar dan kelenjar di dinding usus itu sendiri. Karakteristik utama dari sekresi ini adalah kandungan enzim pencernaan yang tinggi. Sekresi pankreas mempunyai pH alkalin karena konsentrasi bikarbonatnya yang tinggi. Ini menetralisir asam yang memasuki duodenum dari lambung. Pankreas juga mensekresi enzim pencernaan, termasuk tripsin, yang membantu dalam pencernaan protein, amilase yang membantu dalam pencernaan zat pati dan lipase yang membantu dalam pencernaan lemak. Empedu (disekresi oleh hepar dan disimpan di dalam kandung empedu) membantu mengemulsi lemak yang dicerna.
Sekresi kelenjar usus terdiri daru mukus, yang menyelimuti sel-sel dan melindungi mukosa dari serangan oleh asam hidroklorida, hormon, elektrolit dan enzim. Hormon, neuroregulator dan regulator lokal ditemukan di dalam sekresi usus, berfungsi mengontrol laju sekresi usus dan mempengaruhi motilitas gastrointestinal.
Sekresi usus total kira-kira getah pankreas 1 L/hari, empedu 0.5 L/hari dan kelenjar usus halus 3 L/hari. Ada 2 tipe kontraksi yang terjadi secara teratur di usus halus :
1)Kontraksi segmental yang menghasilkan campuran gelombang yang menggerakkan isi usus ke belakang dan ke depan dalam gerakan mengaduk.
2)Peristaltik usus mendorong isi usus halus tersebut ke arah kolon.
Karbohidrat dipecahkan menjadi disakarida dan monosakarida. Protein dipecahkan menjadi asam amino dan peptida. Lemak dicerna diemulsifikasi menjadi monogliserida dan asam lemak.
Dalam 4 jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proksimal kolon melalui katup ileusekal. Populasi bakteri adalah komponen utama dari isi usus besar. Bakteri membantu menyelesaikan pemecahan materi sisa dan garam empedu.
Aktivitas peristaltik yang lemah menggerakkan isi kolonik dengan perlahan sepanjang saluran. Transport lambat ini memungkinkan reabsorbsi efisien terhadap air dan elektrolit. Materi sisa dari makanan akhirnya mencapai dan mengembangkan anus, biasanya dalam kira-kira 12 jam sebanyak seperempat dari materi sisa makanan mungkin tetap berada direktum 3 hari setelah makanan dicerna.
Distensi rektum secara relatif menimbulkan kontraksi otot-ototnya dan merilekskan sfinger anal internal yang biasanya tertutup. Sfingter internal dikontrol oleh sistem saraf otonom, sfringter eksternal di bawah kontrol sadar dari kortektes serebral.
Rata-rata frekuensi defekasi pada manusia adalah sekali sehari, tetapi frekuensi bervariasi diantara individu, faeces terdiri dari bahan makanan yang tidak tercerna, materi anorganik, air dan bakteri, Bahan kekal kira-kira 75 % materi cair dan 25 materi padat (Smeltzer Suzanne C, 2001).
4.Patofisiologi
a.Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus (terutama di ileum bagian distal), ke jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke peredarahan darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikula endotelial, hati, limpa dan organ-organ lainnnya.
b.Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikula endotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu.
c.Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.
d.Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
Bagan/skema patofisiologi
5.Gambaran klinik
Gambaran klinik demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas : 10 – 20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang. Menyusul gambaran klinik yang biasa ditemukan ialah :
a.Demam
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b.Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal.
c.Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Di samping itu gejala tersebut mungkin terdapat gejala lain yaitu pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit, yang daapt ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang ditemukan bradikardia dan epistaksis pada anak besar (Ngastiyah ,1997).
6.Relaps
Relaps ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis (Ngastiyah ,1997).
7.Komplikasi
Pada usus halus :
a. Perdarahan usus, bila sedikit, hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin, jika perdarahan banyak terjadi metena.
b. Perforasi usus, timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum.
c. Peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat dinding abdomen tegang dan nyeri tekan (Ngastiyah ,1997).
8.Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan daerah tepi : leukopenia, aneosinofilia, anemia, trombositopenia.
b. Pemeriksaan sumsum tulang : menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang.
c. Biakan empedu : terdapat basil salmonella typhopsa pada urine dan tinja. Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella typhosa pada urine dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.
d. Pemeriksaan widal : didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menengakkan diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
9.Penatalaksanaan
a.Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.
b.Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
c.Istirahat selama demam sampai 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk. Jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan di ruangan.
d.Diet makanan yang mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas.
e.Obat pilihan adalah kloramfenikal dosis tinggi yaitu 100 mg / kg BB/hari (maksimum 2 gram perhari) diberikan 4x sehari peroral atau intravena.
f.Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi demam hidrasi dan asidosis diberikan cairan secara intravena dan sebagainya. (Ngastiyah, 1997).
10.Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4 % rata-rata 5,7 % (Juwono Rachmat, 1996).
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Menurut Yura (1983) proses keperawatan adalah tindakan yang berurutan dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah pasien, membuat perencanaan untuk mengatasi, melaksanakan dan mengevaluasi keberhasilan efektif akan masalah yang akan diatasinya.
Proses keperawatan terdiri dari tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.Pengkajian
Pengkajian sistem gastrointestinal meliputi riwayat kesehatan serta pemeriksaan fisik komprehensif dimulai dari rongga mulut, abdomen, rektum dan anus pasien. Tujuan tindakan ini untuk mengumpulkan riwayat, pengkajian fisik dan tes diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengatasi diagnosa keperawatan dan medis klien. (Monica Ester, 2001).
Pada pengkajian penderita dengan kasus typhus abdominalis yang perlu dikaji :
a.Riwayat keperawatan
b.Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran (Suriadi, dkk 2001).
Diagnosa Keperawatan
a.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
b.Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.
c.Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.
d.Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.
e.Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi (Suriadi, dkk, 2001).
Perencanaan Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosis keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan klien.
a.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
Tujuan : – Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan.
Intervensi :
5)Nilai status nutrisi anak.
6)Izinkan anak untuk makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
7)Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.
8)Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering.
9)Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.
10)Pertahankan kebersihan mulut anak.
11)Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit.
12)Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral. Jika pemberian makann melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak
b.Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.
Tujuan : – Mencegah kurangnya volume cairan.
Intervensi :
1)Observasi tanda-tanda vital (suhu tubuh ) paling sedikit setiap empat jam.
2)Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urine menurun, membran mukosa kering, bibir pecah-pecah.
3)Observasi dan catat intake dan output dan mempertahankan intake dan output yang adekuat.
4)Monitor dan catat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.
5)Monitor pemberian cairan intravena melalui intravena setiap jam.
6)Kurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (insensible water loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge.
7)Berikan antibiotik sesuai program.
c.Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Tujuan : – Mempertahankan fungsi persepsi sensori.
Intervensi :
1)Kaji status neurologis
2)Istirahkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil.
3)Hindari aktivitas yang berlebihan.
4)Pantau tanda-tanda vital.
d.Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.
Tujuan : – Kebutuhan perawatan diri terpenuhi.
Intervensi :
1)Kaji aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan tugas perkembangan anak.
2)Jelaskan kepada anak dan keluarga aktivitas yang dapat dan tidak dapat dilakukan hingga demam berangsur-angsur turun .
3)Bantu memenuhi kebutuhan dasar anak.
4)Libatkan peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar anak.
e.Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan : – Mempertahankan suhu dalam batas normal.
Intervensi :
1)Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia.
2)Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan.
(Suriadi dkk, 2001).
Pelaksanaan / Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai berikut :
a.Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi.
b.Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat.
c.Keamanan fisik dan psikologis dilindungi.
d.Dokumentasi intervensi dan respons klien.
(Keliat, Anna Budi, 1999).
Evaluasi Keperawatan.
Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (diagnosa, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi.
Hasil yang diharapkan pada tahap evaluasi adalah :
a.Anak menunjukkan tanda – tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi.
b.Anak menunjukkan tanda – tanda terpenuhinya kebutuhan cairan.
c.Anak tidak menunjukkan tanda – tanda penurunan kesadaran yang lebih lanjut.
d.Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat perkembangan anak.
e.Anak akan menunjukkan tanda – tanda vital dalam batas normal.
(Suriadi, dkk 1999).
Sumber:
1.Engel, Joyce, 1999, Pengkajian Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta.
2.Ester, Monica, 2002, Keperawatan Medikal Bedah ; Pendekatan Sistem Gastrointestinal, EGC, Jakarta.
3.Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
4.Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
5.Prabu, B. D. R, 1996, Penyakit – Penyakit Infeksi Umum, Jilid I, Widya Medika, Jakarta.
6.Rosa, M. Sacharin, 1993, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 EGC, Jakarta.
7.Soedarto, 1996, Penyakit – Penyakit Infeksi di Indonesia, Widya Medika, Jakarta.
8.Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Ilmu Kesehatan Anak, Infomedika, Jakarta.
9.Suriadi, dkk, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I, CV. Sagung, Jakarta.
10.Tambayong, Jan, 2000, Patofisiologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.
11.Tambunan, Gani W, 1994, Patologi Gastroenterologi, EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar